Kisah Wayan Mertayani yang Menjuarai Lomba Foto Internasional berkat Kamera Pinjaman


Mertayani dan foto karyanya yang menjadi juara. Foto: Chairul Amri /Radar Bali
Kisah Wayan Mertayani patut diacungi jempol. Meski tak punya kamera, gadis 16 tahun asal Karangasem, Bali, itu berhasil menjuarai lomba foto internasional di Belanda. Mei tahun lalu, dia bahkan diundang ke Negeri Kincir Angin tersebut. Kini, Wayan sedang menunggu hadiah uang yang dijanjikan dengan harapan bisa mengurangi kemiskinan keluarganya.
---------------------------------------------
CHAIRUL AMRI S., Karangasem
---------------------------------------------
Siang itu, langit di atas Pantai Bias Lantang tampak mendung. Meski demikian, pantai di Desa Purwakerti, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem, tersebut terlihat indah dipandang. Di pinggir pantai itu, terdapat sebuah rumah sangat sederhana, berukuran sekitar 3 x 4 meter. Semua dinding rumah tersebut terbuat dari gedek (anyaman bambu) dan beratap seng.

Itulah rumah Wayan Mertayani. Sehari-hari, gadis 16 tahun tersebut tinggal bersama ibunya, Ni Nengah Kirep, 45, dan adiknya, Ni Nengah Jati, 13. Untuk menyambung hidup, Kirep beternak ayam yang jumlahnya hanya belasan ekor. Selain itu, dia menjadi pemulung barang-barang bekas. Ketika Radar Bali (Jawa Pos Group) berkunjung ke rumahnya siang itu, Wayan sedang bersiap-siap berangkat sekolah. "Saya sekarang kelas satu SMA," kata Wayan yang akrab disapa Sepi itu karena lahir pas hari raya Nyepi.

Melihat kehidupan sehari-hari Wayan yang jauh dari kesan berkecukupan, mungkin tak akan pernah ada yang mengira bahwa gadis berwajah manis tersebut menjadi juara lomba foto internasional di Belanda. Tapi, itulah yang terjadi.

Bagaimana ceritanya? Semua itu bermula ketika Wayan berkenalan dengan Mrs Dolly Amarhoseija, turis asal Belanda, Juli 2009. Dari perkenalan tersebut, hubungan mereka kian akrab. Wayan yang sejak kecil bercita-cita menjadi wartawan tertarik pada kamera milik Dolly.

Oleh Dolly, Wayan diajari cara memotret. Selanjutnya, kamera digital itu dipinjamkan Dolly kepada Wayan. Betapa gembiranya Wayan saat itu. Berbekal kamera pinjaman milik Dolly, Wayan memotret sejumlah objek di sekitar rumahnya.

Di antara belasan objek yang dibidik Wayan, ada salah satu objek yang menarik perhatian Dolly yang memang menekuni bidang fotografi tersebut. Objek itu adalah potret pohon ubi karet dengan dahan tanpa daun yang tumbuh di depan rumah Wayan. Seekor ayam bertengger di salah satu dahan tanpa daun itu. Ada juga handuk merah jambu dan baju keseharian yang dijemur di bawahnya.

Karena dianggap bagus, atas seizin Wayan, foto tersebut dikirim Dolly ke Belanda untuk mengikuti lomba foto internasional 2009 yang dihelat Yayasan Anne Frank. Tak disangka-sangka, hasil jepretan Wayan dengan objek pohon ubi karet dan ayam itu ternyata memikat 12 fotografer dunia dari World Press Photo yang menjadi juri dalam ajang lomba tersebut. Objek yang dibidik Wayan itu pun akhirnya ditetapkan sebagai juara karena dianggap sangat tepat dengan tema dalam lomba tersebut: Apa Harapan Terbesarmu?.

Kabar membanggakan itu diterima Wayan akhir Desember 2009 melalui Merry. Dia adalah pemilik vila Sinar Cinta di Karangasem, Bali, yang juga teman Dolly. Atas prestasi tersebut, Wayan diundang ke Belanda pada 3 Mei lalu untuk menerima langsung hadiah. Yakni, kamera saku digital, laptop, serta uang Rp 40 juta.

Mengapa membidik ayam yang sedang bertengger di pohon ubi karet itu? "Ayam itu adalah simbol diri dan kehidupan keluarga kami. Ayam itu kalau panas kepanasan dan kalau hujan kehujanan. Sama seperti saya," jawab Wayan. Lebih lanjut, dia menceritakan, meski punya rumah, rumah yang dia tinggali itu tak ideal disebut rumah. "Karena atapnya seng, kalau panas kami kepanasan. Kalau hujan, kami kehujanan. Sebab, atapnya banyak yang bocor," ceritanya.

Ketika ditanya, apakah ada yang berubah setelah dia berhasil meraih juara bergengsi itu" Wayan hanya tersenyum. "Nggak ada yang berubah. Sama saja seperti dulu. Kami masih tinggal di gubuk ini. Kalau pun ada yang berubah, ya, saya banjir sanjungan, he" he" he?," kata Wayan dibarengi tawanya yang renyah. Terutama sanjungan dari teman-teman sekolah dan bapak/ibu gurunya.

Wayan mengakui, sejak dia mendapatkan penghargaan dari Yayasan Anne Frank, pandangan orang terhadap keluarganya berubah. Dulu, baik dia maupun ibunya kerap menuai cibiran dari sebagian warga. Meski demikian, apa yang pernah dia raih, rupanya tak membuat Wayan besar kepala. Dia masih tetap menjalani hidupnya seperti sebelum mendapatkan penghargaan. "Tentu saya bersyukur. Tapi, saya juga tidak mau berlebihan," kata penggemar berat novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata ini.

Wayan mengatakan, hidup keluarganya memang masih jauh dari berkecukupan. Ayahnya meninggal, sejak Wayan masih balita. Untuk menyambung hidup, ibu Wayan bekerja serabutan. Selain beternak ayam dan menjadi pemulung, sang ibu, Kirep, juga berjualan makanan di tepi pantai. Tapi, untuk aktivitas ini, Kirep mengaku terpaksa berhenti. Itu karena sebulan terakhir ini kesehatannya terganggu. "Ibu saya terkena gangguan ginjal. Sebenarnya sejak 2003 lalu. Tapi, akhir-akhir ini sering kumat," papar Wayan yang kisah hidupnya telah dibukukan dengan judul Potret Terindah dari Bali ini.

"Ginjal kanan saya kumat lagi. Kalau angkat yang berat-berat terasa sakit," ujar Kirep, yang siang itu mendampingi puteri sulungnya. Dengan kondisi seperti itu, Kirep lebih banyak di rumah. Pagi hari dia hanya memulung. Selesai itu, dia pun kembali ke rumah untuk memasak serta mengurus ternak ayam serta kambing yang dia gembalakan di pinggiran pantai.

Dari ternak-ternak itulah, keluarga Kirep melanjutkan hidupnya. Kadang kala, dia terpaksa menjual kambing agar Wayan dan adiknya, Jati, bisa bersekolah. Termasuk, untuk makan sehari-hari bagi keluarganya.

"Seminggu lalu, saya terpaksa menjual ayam. Laku Rp 50 ribu. Kebetulan uang itu untuk biaya sekolah Wayan dan Jati," katanya. "Tiga minggu lalu saya melepas satu ekor kambing untuk dijual. Soalnya saya sudah bingung cari uang dapur dan uang untuk sekolah anak-anak saya," tambahnya, dengan kedua mata menerawang.

Saat ini, Wayan sedang menunggu hadiah uang senilai Rp 40 juta yang menjadi haknya atas prestasi yang diperoleh di Belanda. "Uang itu sedang diurus Bu Merry," kata Wayan, dengan mata berbinar penuh harap. Dia mengatakan, uang itu rencananya untuk membeli tanah, selanjutnya dibangun rumah. Sebab, rumah yang ditempati Wayan saat ini, bukan lah rumahnya sendiri. "Rumah itu bukan milik kami. Kami hanya disuruh menempati oleh orang yang kasihan dengan nasib kami," tutur Wayan.

Dengan nada bergetar, Wayan menceritakan, bahwa semula dia tinggal di rumah kakek dari ayahnya. Tapi, setelah sang ayah meninggal, tanpa alasan jelas, Kirep, Wayan dan adiknya yang saat itu masih balita, diusir oleh keluarga sang kakek. Selanjutnya, Wayan tinggal di rumah kakek dari ibunya. Di sini pun, nasib Wayan tak mujur.

Tak berapa lama, Kirep, Wayan dan adiknya juga diusir. Beruntung, dalam kondisi terkatung-katung itu, ada seorang yang iba. Dia adalah pemilik lahan pengeringan garam yang terletak di pinggiran Pantai Bias Lantang, Desa Purwakerti, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem. Di atas lahan itu, kebetulan ada rumah, dan Kirep diperbolehkan tinggal di sana bersama dua anaknya, sampai sekarang.

Kisah pilu Wayan ini sudah dibukukan dengan judul Potret Terindah dari Bali yang disusun Pande Komang Suryanita. "Saya sangat berharap mendapat royalti dari buku itu. Rencananya akan kami buat tambahan membeli tanah dan membangun rumah," katanya.(jpnn/kum/jpnn.com)

1 comment:

Ifran Arz said...

Ruarrr biasa, membanggakan !