Seorang mahasiswa program doktor dalam bidang neurologi terkesima dengan ayat ke 21 dari surat Ar-Ruum yang dibacanya. Hatinya bergetar dan, seperti gayung bersambut, intelektualitasnya memerintahkan dirinya untuk mendalami makna ‘kasih sayang’¾salah satu tema sentral dalam kandungan firman Allah tersebut. Ada rahasia apa di balik ‘kasih sayang’? Bagaimana ‘kasih sayang’ mempengaruhi kehidupan manusia? Pertanyaan-pertanyaan semacam inilah yang ingin ia jawab. Meskipun demikian, ia sadar bahwa pertanyaan-pertanyaan itu bisa memberikan sejuta jawaban dan ia pun sadar akan keterbatasan dirinya. Nah, karena ia punya kompetensi dalam bidang neurologi, maka pertanyaan yang harus ia jawab adalah ‘Apa hubungan sistem saraf dengan kasih sayang?’. Wah…, Anda pasti setuju kalau ini pertanyaan sulit, tetapi toh mahasiswa ini tidak main-main. Ia bertekad kuat untuk dapat menjawabnya. Bahkan, ia berencana menjadikan jawaban tersebut sebagai bahan disertasinya kelak.

Entah kebetulan atau tidak, sang mahasiswa membaca dokumentasi kitab Negarakertagama yang dikarang Mpu Prapanca pada zaman Majapahit itu. Salah satu bab kitab tersebut memuat pernyataan yang semakin mengobarkan semangat sang mahasiswa. Inti pernyataan tersebut adalah: Sebuah jalinan cinta antara dua orang anak manusia tidak akan bertahan lama tanpa adanya rasa kasih sayang. Keabadian cinta ditentukan oleh besarnya rasa kasih sayang itu.
**
Awal perjalanan panjang dari penelitiannya ini adalah diri dan keluarganya sendiri. Pada suatu malam ia berbincang-bincang dengan istri tercinta di kamar mereka. Sang istri berkata, “Pa…, kita sudah lama menikah dan berkeluarga. Tapi, kok, sekarang mama ngerasa tidak punya perasaan ‘yang spesial’, sih, sama Papa ? Kayaknya biasa-biasa aja, tuh. Nggak seperti waktu di awal pernikahan kita dulu. Mmm…, tapi…, ada tapi-nya, nih. Kalau Papa pergi ke luar kota atau, pokoknya, berada di luar rumah sampai larut malam, anehnya Mama ngerasa kangen sama Papa. Bener, deh, Pa!” Sang mahasiswa tersenyum mendengar perkataan istrinya sembari menyahut, “Wah, berarti Mama sama kayak Papa, dong. Papa juga kayak begitu, persis! Ya, udah, deh. Papa izinin Mama sering-sering pergi kayak Papa, supaya rasa kangen Papa semakin bertambah dan akhirnya Papa tambah sayang, deh, sama Mama, ha…ha…” “Iiih…, Papa gitu, deh.”, sambut istrinya menimpali canda sang mahasiswa.
Obrolan ringan dengan istrinya malam itu menjadi salah satu inspirasi sang mahasiswa. Ia lantas melakukan observasi terhadap pasangan suami-istri yang baru setahun-dua tahun menikah dan pasangan yang sudah mengarungi kehidupan rumah tangga lebih dari sepuluh tahun. Ia ingin membandingkan pandangan kedua jenis pasangan tersebut tentang ‘kehidupan kasih sayang’ mereka.
Singkat cerita, sang mahasiswa berhasil dalam observasinya. Ia pun berlanjut pada penelitian skala laboratorium. Ia ‘menganiaya’ sistem saraf manusia dengan intelektualitasnya. Ia berpikir bahwa ada bagian dari sistem saraf yang memainkan sebuah peran penting ketika seseorang jatuh cinta. Ketika dua orang muda-mudi saling merindu, merasa damai dan senang ketika saling bertemu, dan saat mereka mampu merasakan bahwa pasangan mereka berada tidak jauh dari mereka meskipun mereka tidak melihatnya, pasti ada bagian dari sistem saraf yang secara aktif bekerja mengendalikan semua itu. Ketika suatu periode telah terlewati, misalnya setelah pernikahan berlangsung cukup lama seperti yang ia alami bersama istrinya, perasaan cinta itu tidak segencar seperti pada awalnya. Intensitasnya menurun. ‘Bagian sistem saraf’ itu sepertinya tidak aktif lagi. Ada sesuatu yang berubah. Namun, mengapa rasa ‘rindu’ masih ada?
**
Sepuluh tahun berselang sejak sang mahasiswa memulai ‘proyek kasih sayang’nya itu. Kerja keras dan keringatnya yang terjatuh selama satu dekade ternyata tidak sia-sia. Penelitiannya membuahkan hasil yang sangat spektakuler.
Berdasarkan penelitiannya, sang mahasiswa menyatakan bahwa ketika seseorang sedang jatuh cinta, kelenjar hipotalamus yang berada di dasar otak besarnya mensekresikan hormon tertentu. Hormon itu selanjutnya merangsang pembentukan feromon ‘cinta’. Feromon ini dikeluarkan oleh mekanisme tubuh seseorang yang jatuh cinta dan hanya bisa ‘dicium’ oleh lawan jenisnya yang mencintai dan dicintainya. Proses ‘penciuman’ ini tidak disadari alias bersifat instinktif atau berdasarkan feeling belaka. Berkat feromon inilah, seseorang dapat merasakan bahwa kekasihnya berada di dekatnya meskipun ia tidak melihatnya secara fisik. Secara keseluruhan, hormon dan feromon ini memainkan peran sebagai instrumen yang membuat rasa cinta begitu menggebu-gebu dalam diri dua sejoli.
Sang mahasiswa mengklaim bahwa masa aktif hormon temuannya itu cuma empat tahun dan bersifat periodik (meskipun periodenya nggak jelas). Setelah empat tahun sejak seseorang mengalami jatuh cinta, produksi hormon ‘cinta’ ini berhenti. Pembentukan feromon pun secara otomatis berhenti. Pada saat seperti ini, rasa cinta tidak lagi menggebu-gebu, bahkan cenderung digantikan dengan rasa bosan. Tidak heran jika banyak kisah cinta muda-mudi tidak berlangsung lama, alias ‘putus’ di tengah jalan. Kalau dihubungkan dengan aktivitas hormon ‘merah muda’ ini, berarti penyebab mereka ‘putus’ adalah habisnya masa aktif hormon tersebut.
Di antara sekian banyak muda-mudi yang dirundung cinta (bukan ‘malang’, lho!), ternyata ada yang berhasil mempertahankan hubungan mereka sampai akhirnya menikah. Nah, pada tahun-tahun awal pernikahan setiap pasangan suami-istri, hormon ini akan kembali dihasilkan. Perasaan cinta akan sangat berbunga-bunga, hubungan mereka terlihat mesra secara fisik (artinya kemesraan mereka mudah dilihat orang lain dengan frekuensi tinggi), dan kalau ditanya mengenai kehidupan cinta mereka, mereka akan menjawabnya dengan kata-kata berbau cinta. Pokoknya, tiada hari tanpa kebahagiaan cinta di sisi pasangan masing-masing!
Seiring dengan bertambahnya usia pernikahan, grafik sekresi hormon ini ternyata menurun sampai akhirnya masa aktifnya pun selesai. Jadi, wajar jika istri sang mahasiswa tidak lagi punya perasaan yang begitu spesial kepada suaminya. Namun, ini tentu ada perbedaannya dengan pasangan muda yang berpacaran. Kalau pasangan muda bisa ‘putus’, tidak berarti pasangan tua seperti sang mahasiswa dan istrinya harus bercerai. Hubungan mereka ternyata baik-baik saja dan, bahkan, ada satu rasa yang menjadi kekuatan hubungan mereka. Rasa itu adalah rasa rindu.
Kerinduan adalah perasaan yang begitu hebat, begitu gaib, dan sangat misterius. Ia terlalu tinggi untuk dibandingkan dengan ‘cinta’. Rindu adalah sebuah bentuk kekuatan.
**
Mengapa rasa rindu itu hadir? Mengapa sang mahasiswa dan istrinya mampu mempertahankan hubungan pernikahan mereka? Inilah soal-soal yang akhirnya terjawab oleh sang mahasiswa. Ia menjawab dengan mengembalikan semua penelitiannya kepada al-Quran; kitab suci yang telah menggugah jiwa keilmuannya untuk mengungkap rahasia ciptaan Allah.
Sang mahasiswa semakin percaya diri untuk menyatakan bahwa hubungan cinta tidak akan bertahan lama jika hanya dilandasi ketertarikan fisik, kelebihan-kelebihan dalam diri pasangan, dan hal-hal materi-duniawi lainnya. Keterlibatan ‘sesaat’ hormon dan feromon ‘cinta’ menunjukkan bahwa hal-hal yang bersifat ‘materi’ bukan jaminan keabadian cinta. Sang mahasiswa akhirnya berkesimpulan bahwa ‘resep’ utama untuk mempertahankan hubungan cinta antara dua anak manusia adalah menumbuhkan rasa kasih sayang.. Hubungan cinta mudah putus jika tidak berdasarkan kasih sayang.
Kasih sayang adalah cinta yang sesungguhnya. Kasih sayang-lah yang digunakan Allah dalam memelihara semua makhluk-Nya. Kasih sayang-lah yang menjadi belaian setiap orang tua dalam merawat dan membesarkan anak-anaknya. Kasih sayang adalah salah satu bentuk cinta yang tertinggi.
**
Rasa ‘cinta’ antar sesama manusia ternyata penuh dengan unsur materialisme. Penelitian sang mahasiswa, menurut saya, secara tidak langsung membuktikan keberadaan unsur tersebut. Sang mahasiswa sendiri yang akhirnya membuktikan bahwa materialisme cinta bagaikan bangunan rapuh yang terlihat kokoh. Materialisme itu adalah tipu daya yang pasti hancur jika penikmat cinta tidak menyuburkan rasa kasih sayang. Kasih sayang tak akan subur, kecuali ia mampu membangun kekuatan ruhiyah.
Kekuatan ruhiyah adalah idaman semua kita yang menghendaki cinta sejati. Kekuatan ruhiyah dibangun dengan cara mendekatkan diri kepada Allah sesuai tuntunan Allah dan Rasulullah saw. Dalam mencintai sesama manusia, seseorang yang berkekuatan ruhiyah tinggi mampu memaknai perasaan cintanya. Ia yakin seyakin-yakinnya bahwa rasa cinta itu harus didasari pengharapan atas ridha Allah semata. Ketika cinta itu muncul, ia berharap-harap cemas akan perasaan cintanya. Ia sangat takut jika cinta itu hanya menjadi alat pemuas syahwatnya. Ia pun sangat khawatir kalau-kalau cinta yang baru saja hadir itu mendominasi jiwa raganya. Kecemasan ini pada gilirannya membuat ia semakin sigap untuk menyadari bahwa…
**
Bahwa ia mencintai sesama manusia karena ia mencintai Allah. Bahwa ia mencintai sesama manusia karena tahu bahwa Allah mengasihi setiap manusia yang menebar cinta di muka bumi. Bahwa cinta Allah-lah yang seharusnya menjadi berlian setiap hati mranusia. Cinta kepada Allah-lah yang wajib mendominasi seluruh relung hatinya. Dengan begitu, insya Allah dirinya akan menjadi taman kasih sayang bagi orang lain, bahkan bagi setiap makhluk-Nya . Insya Allah, Allah akan memudahkan ia dalam menyuburkan bunga ‘kasih sayang’ dalam taman kasih sayang itu. Kesuburan bunga itu membuat orang lain senang mengunjunginya. Ia akan merasakan kenikmatan yang tiada tara dan ia pun tak akan pernah mengenal ‘putus cinta’.